International Telecommunication Union (ITU) bersama dengan United Nations University (UNU), telah meneliti jumlah sampah elektronik yang terus meningkat.
Sampah elektronik tersebut, meliputi baterai, smartphone, laptop, televisi, lemari es dan mainan listrik.
Berdasarkan datanya itu, pada 2016, 44,7 juta metrik ton sampah elektronik dihasilkan, naik 3,3 juta metrik ton (8 persen) dari 2014.
Dan hanya sekitar 20 persen atau sekitar 8,9 juta metrik ton--dari semua e-waste didaur ulang pada tahun yang sama.
Meningkatnya sampah elektronik, kata Direktur Utama PT Arah, Gufron Mahmud, dilatarbelakangi banyaknya masyarakat yang belum paham akan bahaya limbah B3 yang mereka hasilkan tersebut.
Dengan semakin masifnya penggunaan perangkat teknologi seperti smartphone, gadget dan perangkat elektronik lainnya, maka dampak yang dihasilkan adalah limbah B3.
"Masyarakat juga masih banyak yang membuang baterai bekas, lampu bekas, tinta cartridge bekas, dan sampah elektronik lainnya ke dalam satu wadah bersama sampah bekas makanan atau sampah plastik," jelasnya di Jakarta, Kamis (21/2/2019).
"Di sisi lain, ada masyarakat yang sudah paham bahayanya tetapi mengalami kesulitan bagaimana menanganinya," terangnya.
Menurutnya, permasalahan terkini yang ada di Indonesia tentang limbah B3 termasuk juga limbah eletronik adalah minimnya pengetahuan tentang bahaya yang ditimbulkan, serta kurang tepatnya penanganan dalam hal pengelolaan sampah elektronik tersebut
"Karenanya, kehadiran solusi ECOFREN kami harapkan dapat turut membantu program pemerintah untuk mengelola limbah B3 termasuk limbah eletronik atau e-waste dengan baik dan benar," kata dia.
Sumber : Merdeka.com
EmoticonEmoticon